Showing posts with label Religi. Show all posts
Showing posts with label Religi. Show all posts
AMAR MA’RUF DAN NAHI MUNKAR

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ,  وَلَوْ اَمَنَ اَهْلُ الْكِتَبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ,  مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفَسِقُوْنَ. (ال عمران : 110
Artinya: “Kamu adalah yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka diantara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (Q.S Ali Imran : 110)

Ditegaskan oleh Allah SWT bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang terbaik dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Surat Ali Imran ayat 110 di atas tadi menjadi penegasan Allah tentang keberadaan umat Islam, yakni umat yang terbaik, karena mau melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dan beriman kepada Allah. Namun secara khusus Allah juga menegaskan bahwa umat yang terbaik adalah umat yang menjalankan ‘amar ma’ruf nahi munkar” yang artinya umat yang suka memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran dan beriman kepada Allah SWT secara benar.

Ma’ruf yang paling agung adalah agama yang haq iman, tauhid dan kenabian. Sedangkan kemunkaran yang paling rendah adalah kafir terhadap Allah. Jadi, orang yang beramar ma;ruf adalah dia telah mempertahankan dan melestarikan kemurnian ajaran agama (Islam). Dan orang yang nahi munkar berarti dia menginginkan sirnanya kejelekan, kemaksiatan dan kedurhakaan dari muka bumi ini. Sekiranya setiap orang yang beriman melakukan hal tersebut, maka umat Islam menjadi umat yang paling terhormat, di muka bumi ini, seperti yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat-sahabatnya.

Sebelum Islam datang, umat manusia (orang arab) saling bermusuhan. Kemudian hati mereka dirukunkan, mereka berpegang pada tali Allah (agama Allah), melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Orang-orang muslim yang lemah tidak takut terhadap orang-orang muslim yang kuat, orang-orang kecil pun tidak takut terhadap orang besar. Sebab iman telah meresap ke dalam kalbu mereka. Keimanan seperti itulah yang dikatakan oleh Allah dalam firman-Nya pada surat Al Hujurat ayat 15:

اِنَّمَأ الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اَمَنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَبُوْا وَجَاهَدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ فِى سَبِيْلِ اللهِ,  اُولَئِكَ هُمُ الصَّدِقُوْنَ.

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, merka itulah orang-orang yang benar”. (Q.S Al Hujurat:15)

Dan firman Allah yang lain dalam surat AL Anfal ayat 2:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الذِّيْنَ اِذَا ذُكِرَاللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اَيَتُهُ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ.

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal”.

Jadi, amar ma’ruf nahi munkar adalah penyebab kehormatan dan keutamaan. Bila amar ma’ruf nahi munkar tidak dilaksanakan, maka akan hilanglah keistimewaan umat Islam. Amar ma’ruf nahi munkar harus seiring dan sejalan. Amar ma’ruf menurut persyaratan tertentu lebih ringan disbanding nahi munkar. Masing-masing mereka yang amar ma’ruf harus memiliki ilmu pengetahuan, wara’, dan berakhlak mulia.

Ilmu pengetahuan dan kewara’an saja belumlah cukup, apabila orang tersebut suka marah dan keras kepala. Kemarahan baru dapat dipadamkan dengan adanya budi yang baik atau akhlakul karimah, perasaan yang lunak, bijaksana dan penuh dengan kesabaran itulah yang harus dimiliki.

Dalam melaksanakan nahi munkar ada langkah-langkah yang harus ditempuh, sehingga hasilnya pun dapat dirasakan. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama: adalah memberi peringatan, yakni memberi penerangan kepada pelaku kemunkaran, sebab ada kalanya seseorang melakukan sesuatu kemunkaran dengan sebab tidak tahu atau karena bodoh, sehingga setelah diberitahu diharapkan dia minginggalkannya.

Kedua: adalah menasihati, yakni melarang pelaku kemunkaran itu dengan memberikan nasihat yang baik, petunjuk yang bijaksana, memberitahukan kepadanya akibat buruk yang ditimbulkannya.

Ketiga: adalah melarang agak keras, yakni melarang dengan ucapan yang bernada paksa, tetapi kata-kata yang kasar dan tidak sopan tetap dihindari. Ini perlu diperhatikan apabila cara lemah lembut sudah tidak dihiraukan lagi.

Keempat: adalah melarang lebih keras lagi dari tingkat ketiga diatas, yakni melarang dengan menggunakan kekuasaan, sebagai usaha yang terakhir. Bagi penguasa hal ini mudah dilakukan, tapi bagi kebanyakan umat tindakan seperti agak sulit, karena diperlukan adanya keberanian. Kata-kata lebih keras di sini tetap harus mengikuti etika, sopan santun dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pihak berwewenang, yaitu umara. Di sini perlunya ulama dan umara bekerjasama dengan sebaik-baiknya.

Kemudian kelanjutan ayat di atas tadi adalah: “sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka”.

Seperti dikemukakan di atas, bahwa yang menyebabkan umat Islam itu umat yang terbaik (utama) adalah beramar ma’ruf, nahi munkar dan beriman yang benar. Sebenarnya umat-umat terdahulu (ahli kitab), juga dapat mencapai derajat tersebut, tetapi karena sebagian besar mereka tidak lagi menghiraukan ketiga macam yang tersebut di atas, maka jadilah mereka uamt yang fasik, seperti yang disebutkan pada akhir ayat, yaitu,

مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفَسِقُوْنَ

Diantara mereka (ahli kitab) ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah fasik dalam hal agamanya dan tenggelam dalam kekufuran.

اِجْتَنِبُوْا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ الشِّرْكُ بِااللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللهُ اِلَّا بِالحَقِّ وَاَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَاَكْلُ الرِّبَا وَتَوَالِى يَوْمِ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ (متفق عليه)

Artinya: “Jauhilah olehmu sekalian tujuh perkara yang merusak, yaitu menyekutukan Allah, sihir, membunuh yang telah diharamkan Allah kecuali dengan jalan yang benar, makan harta anak yatim, makan harta riba, lari dari peperangan, dan menuduh perempuan baik-baik yang beriman berbuat zina”. (H.R Bukhari Muslim)

Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim di atas merupakan sebuah peringatan dari Rasulullah SAW kepada umatnya agar menjauhi tujuh perkara yang bisa merusak keimanan seseorang, dikarenakan ketujuh perkara tersebut termasuk dari dosa-dosa besar. Apa saja ketujuh dosa-dosa besar yang bisa merusak keimanan seseorang tersebut, berikut penjelasannya;

Nomorsatu (1) adalah berbuat syirik. Syirik berarti menyekutukan Allah SWT dengan yang lainnya atau bisa juga penyembahan kepada selain Allah SWT, misalnya menganggap Allah itu ada dua atau lebih dari satu, minta perlindungan dan bantuan kepada syaitan, minta do’a restu kepada leluhur yang sudah meninggal, dan sebagainya. Allah SWT menggambarkannya dalam Al-Qur’an sebagai berikut:

يَدْعُوْا مِنْ دُوْنِ اللهِ مَا لَا يَضُرُّهُ وَمَا لَا يَنْفَعُهُ, ذَلِكَ هُوَ الضَّلَلُ الْبَعِيْدُ (الحج:12)

Artinya: “Ia menyeru selain Allah, sesuatu yang tidak dapat member madharat dan tidak (pula) member manfaat. Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh”. (Q.S Al Hajj : 12)

Sampai saat ini, terjadinya penyekutuan masih terjadi, mulai dari yang masih mempercayai dengan kekuatan selain Allah, menyembah pohon tua, kuburan, matahari, batu, binatang dan sesembahan-sesembahan lainnya selain Allah, padahal jelas bahwa semua itu adalah bakal mati dan tidak dapat berbuat apa-apa. Menyekutukan Allah adalah dosa besar, oleh karena itu sangatlah dilarang di dalam Islam. Bahkan Allah tidak akan mengampuni dosa orang musyrik, hal ini sesuai dengan firman-Nya dalam surat An Nisa’ ayat 48:

اِنَّ اللهَ لَايَغْفِرُ اَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَّشَآءُ, وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى اِثْمًا عَظِيْمًا.

Artinya: “Sengguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (Q.S An Nisa’ : 48)

Nomordua (2) dari tujuh dosa besar adalah sihir. Dalam bahasa arab, sihir diartikan setiap hal atau kejadian yang tersembunyi atau tidak diketahui sumber dan sebab musababnya. seperti contohnya adalah perbuatan tukang sihir Firaun yang menentang Nabi Musa, disulapnya mata orang banyak, sehingga tali-temali kelihatannya menjadi ular yang merayap kian kemari. Lain halnya dengan tongkat Nabi Musa, berubahnya tongkat menjadi ular adalah mukjizat dari Allah. Sihir bukan hanya dapat menyesatkan diri sendiri, namun juga dapat menyesatkan orang lain. Oleh karenanya, sihir dilarang dan termasuk salah satu dosa besar.

Nomortiga (3) dari tujuh dosa besar selanjutnya adalah Membunuh jiwa yang diharamkan Allah. Membunuh orang adalah dosa besar, karena begitu kejinya pembunuhan (perbuatan menghilangkan nyawa seseorang) itu yang dapat merusak keselamatan jiwa dan ketentraman umum. Allah SWT akan memberikan balasan yang layak (setimpal), yaitu hukuman berat di dunia dan dimasukkan ke dalam neraka nanti di akhirat. Firman Allah SWT dalam surat An Nisa’ ayat 93:

وَمَنْ يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدُا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَاَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيْمًا.

Artinya: “Dan barang siapa yang membunuh seseorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (Q.S An Nisa’ : 93)

Berdasarkan ayat di atas, maka jelaslah bahwa haram hukumnya membunuh seseorang atau membunuh sesama muslim, kecuali yang dapat dibenarkan oleh syara’.

Dosabesar yang selanjutnya (Nomor 4) adalah Memakan harta anak yatim. Anak yatim memerlukan pemeliharaan serta pendidikan yang dilaksanakan dengan penuh kasih sayang, agar mereka (anak yatim) dapat hidup gembira, berbahagia, berilmu, berbudi dan taat beragama, juga sanggup berdikari dan bermanfaat kepada lingkungannya, keluarganya, masyarakat, agama bangsa dan Negara. Maka, bagi umat Islam mempunyai kewajiban berupa memelihara harta bendanya juga memelihara jasmani dan rohaninya. Al-Qur’an mengajarkan pada kita untuk memperlakukan anak yatim dengan baik dan jangan sampai dibiarkan terlantar. Jika anak yatim memiliki harta warisan, hendaknya harta itu dipelihara dengan baik dan digunkanan untuk keperluannya secara wajar. Setelah dewasa, hartanya dikembalikan kepadanya di hadapan saksi. Sejak itu hartanya diurus sendiri tanpa campur tangan orang lain.

Seseorang yang memakan harta anak yatim dengan cara tidak wajar dan mencari kesempatan untuk menghabiskannya sebelum mereka dewasa, maka orang itu diancam dengan hukuman masuk neraka. Oleh karenanya, hadits di atas melarang untuk memakan harta anak yatim, dan hal itu termasuk salah satu dosa besar. Dalam Al-Qur’an surat An Nisa’, Allah banyak menyinggung tentang anak yatim:

a) Firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 2:

وَاَتُوْا الْيَتَمَى اَمْوَلَهُمْ, وَلَا تَتَبَدَّلُوْا الَخَبِيْثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوْا اَمْوَلَهُمْ اِلَى اَمْوَالِكُمْ, اِنَّهُ كَانَ حُوْبًا كَبِيْرًا.

Artinya: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa besar”.

b) Firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 6:

وَلَا تَأْكُلُوْهَآ اِسْرَافًا وَّبِدَارًا اَنْ يَّكْبَرُوْا, وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ, وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوْفِ, فَاِذَا دَفَعْتُمْ اِلَيْهِمْ اَمْوَا لَهُمْ فَاَشْهِدُوْا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِا للهِ حَسِيْبًا.

Artinya: “….dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (diantara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas (atas persaksian itu).

c) Firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 10:

اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ الْيَتَمَى ظُلْمًا اِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِهِمْ نَارًا, وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا.

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”. (Q.S An Nisa’ : 10)

Dosabesar yang ke-5 (lima) adalah Riba. Yaitu suatu bentuk pinjaman yang dapat merusak seseorang dan masyarakat serta menimbulkan kemelaratan. Allah yang Maha Adil dan Mengetahui melarang dengan keras berbuat riba dan riba sudah semestinya dilenyapkan dari muka bumi ini. Riba secara bahasa berarti “lebih” (bertambah). Orang yang makan harta riba adalah orang yang apabila meminjamkan uang menuntut lebih atau minta tambahan dari uang yang dipinjamkannya itu. Bahasa yang lebih umum adalah “membungakan harta. Ini adalah salah satu contoh dari bentuk riba. Masih banyak lagi macam-macam riba itu.

Biasanya tidak ada yang mau melakukan pinjaman dengan cara riba, kecuali orang yang sangat butuh, walaupun dia tahu akibat buruk yang akan menimpanya, tapi karena butuh, terpaksa dilakukan. Dengan beban bunga yang perlu dibayar setiap bulan, maka kesulitan demi kesulitan terus menumpuk dan akhirnya memporakporandakan kehidupan rumah tangganya. Adakah kemadharatan dan kecelakaan yang lebih dari itu? Si kaya. memang dapat untung, tetapi menganiaya semua manusia. Oleh karena itu Nabi mengingatkan agar menjauhi riba, walaupun sepintas nampaknya menguntungkan, tapi pada hakikatnya, dia telah menyiapkan dirinya untuk masuk ke jurang neraka. Coba perhatikan firman Allah dan hadits Nabi yang berkaitan dengan riba di bawah ini:

a) Firman Allah pada surat Al-Baqarah ayat 275

....وَاَحَلَ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَو....

Artinya: “….Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…

b) Hadits Nabi

عَنْ جَابِرٍ لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م اَكِلَ الرِّبَا وَمُوَكِّلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ. رواه مسلم

Artinya: “Dari Jabir, :telah melaknati (mengutuki) Rasulullah SAW, kepada orang yang makan riba, wakilnya, penulisnya dan dua saksinya”. (H.R Muslim)

Dosabesar yang ke enam (6) adalah Lari dari peperangan. Peperangan dalam Islam dizinkan hanyalah untuk membela diri dari serangan musuh, membalas serangan, mempertahankan kemerdekaan, menghindari tekanan terhadap kaum muslimin, juga untuk menyelamatkan umat manusia dari penindasan dan kekerasan. Untuk mempertahankan hal-hal di atas, maka seorang prajurit dilarang meninggalkan medan peperangan. Tindakan itu di samping tidak terpuji juga akan menggoyahkan semangat prajurit lainnya.

Lari dari peperangan bukan saja lari pada saat berada di medan perang, tetapi juga menghindari dari ajakan berperang. Orang yang mencintai tanah airnya akan siap berkorban untuk negaranya. Coba perhatikan firman Allah SWT di bawah ini:

a) Surat An Nisa’ ayat 104 yang artinya: “Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu), jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha BIjaksana”.

b) Surat At Taubah ayat 39 yang artinya: “JIka kamu tidak berangkat untuk berperang, nisacaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat member kemadharatan kepada-Nya sedikit pun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Dosabesar yang terakhir (ke-7) adalah menuduh perempuan baik-baik melakukan perbuatan keji. Dalam arti lain menuduh perempuan-perempuan baik telah melakukan perbuatan yang keji (zina). Menuduh seseorang (yang baik) berbuat zina termasuk dosa besar dan si penuduh wajib dihukum dera.

yang dimaksud menuduh di sini adalah berprasangka, tanpa dasar yang kuat dan tidak didukung oleh saksi. Tuduhan yang tidak terbukti berarti fitnah. Dan fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Nama orang akan tercemar karenanya, dan bisa menghancurkan masa depan orang yang tertuduh. Karena perbuatan zina adalah perbuatan dosa besar dan hukumannya sangat berat, maka Nabi mengingatkan agar tidak sembarangan menuduh orang lain melakukan perbuatan keji itu, lebih-lebih yang dituduh itu orang baik-baik, seseorang apabila tercemar nama baiknya, maka sulit sekali dipulihkan. Ingatlah firman Allah SWT dalam surat An Nuur ayat 4 yang artinya:” Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”.

Yang dimaksud wanita-wanita yang baik-baik di sini adalah wanita-wanita yang suci, akil baligh dan muslimah.

Demikianlah tujuh macam perkara yang harus dijauhi oleh seluruh umat Islam sesuai dengan hadits Nabi di atas, karena perbuatan itu termasuk dosa-dosa besar yang tidak pantas dilakukan oleh umat Nabi Muhammad SAW. Maka yang paling tepat bagi seorang Muslim yang terlanjur khilaf, atau tidak mengerti adalah bertaubat kepada Allah SWT.

Semoga Allah SWT selalu memberkahi kita dan memberi petunjuk-Nya kepada kita semua dan pada akhirnya semoga kita menjadi Umat Nabi Muhammad yang selamat, yaitu selamat di dunia dan selamat di akhirat. Amiin.



SESAMA MUSLIM DILARANG MEMAKI

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ ص م  قَالَ : الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالَا فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُوْمِ (رواه مسلم

Artinya: “Dari Abi Hurairah ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda: Dua orang yang saling memaki, itu adalah sesuai dengan yang diucapkan masing-masing, maka dosanya di atas orang yang memulai, selama yang dimaki-maki tidak membalas berlebihan”. (H.R Muslim)

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim tersebut menjelaskan tentang perilaku dua orang yang saling memaki. Maka orang yang memulai itulah yang akan menanggung dosanya, selagi seorang lagi (yang dimaki) tidak membalas dengan makian juga dengan berlebihan. Namun, berdasar hadits tersebut, orang yang dimaki-maki itu boleh membalas, asalkan dan tetapi dilarang melampaui batas. Orang yang memaki sama artinya telah mendholimi atau menganiaya orang lain, dan ini sikap yang sangat buruk dan sudah semestinya harus dihindari. Memaki-maki, menganiaya orang lain itu bisa merusak citra serta kehormatan orang lain.

Perbuatan yang semestinya dihindari, namun bagaimana jika suatu ketika kita menjadi orang yang dimaki atau tengah dimaki orang lain? Lalu apakah kita diperbolehkan membalas makian tersebut? Jika berdasarkan hadits tersebut di atas, boleh tapi dilarang melampaui batas. Bentuk balasan yang masih diperbolehkan, misalnya: Bila ada orang yang memaki: “Kenapa kamu lakukan itu dengan ceroboh? Apa kamu tidak punya akal, dasar bodoh!” Lalu yang dimaki membalas, “yang salah itu saya atau Anda?”. Nah, balasan semacam itu masih diperbolehkan, sebab kata-kata serta nadanya tidak berlebihan atau tidak melebihi orang yang memaki.

Orang yang memaki terlebih dahulu itulah yang akan terkena dosa, dikarenakan dia yang memulai dan membuka peluang untuk terjadinya pertengkaran. Tapi ini menurut hadits di atas tadi, yaitu kalau orang yang dimaki tidak membalasnya dengan makian yang berlebihan, yakni makian melebihi makian orang pertama. Memang, suatu penganiayan yang dilakukan seseorang tidak boleh ditandingi dengan hal-hal semacamnya. Tidak boleh umpatan ditandingi dengan umpatan, makian ditandingi dengan makian pula dan sebagainya.

Rasulullah SAW pernah bersabda:

اِنِ امْرُءٌ عَيَّرَكَ بِمَا فِيْكَ فَلَا تُعَيِّرُهُ بِمَا فِيْهِ (رواه احمد

Artinya: “ Jikalau ada sesorang mencelamu dengan suatu aib yang ada di dalam dirimu, maka janganlah mencelanya dengan menunjukkan suatu aib yang ada di dalam diri orang tersebut”. (H.R Ahmad)

Jadi, orang yang dimaki jangan mencela kembali dengan makian yang serupa, tapi dibalas dengan yang lebih halus dan bijaksana. Kemudian disebutkan pula dalam hadits Nabi:

خَيْرُ بَنِى اَدَمَ البَطِئُ الغَضَبِ السَّرِيْعُ الْفَيْئِ وَشَرُّهُمْ السَّرِيْعُ الْغَضَبِ الْبَطِئُ الْفَيْئِ  (رواه الترمذى

Artinya:” Anak Adam yang paling baik adalah yang lambat (tidak segera) marah dan yang segera reda marahnya, sedangkan yang terjelek itulah yang segera marah dan lambat reda marahnya”. (H.R At Tirmizi)

Oleh karena itu, hindarilah caci maki, ejek mengejek, cela mencela, hina menghina sesame kawan, sesame saudara, terlebih lagi sesama muslim. Andaikan ada orang yang memaki-maki, diusahakan agar tidak membalasnya dan menghindar dari orang tersebut. Tetapi jika dalam keadaan terpaksa, boleh kita membalas makiannya atau ejekannya dengan tidak berlebihan.

Demikian, semoga Allah SWT selalu menjaga kita semua, sesama saudara, sesama mukmin, sesama muslim, dan seluruhnya, sehingga akan tercipta kondisi saling menghargai dan memahami dan terciptanya kerukunan di dunia ini. Amiin.
KESELARASAN ANTARA PERKATAAN DAN PERBUATAN

يَآَايُّهَا الَّذيْنَ اَمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَالَاتَفْعَلُوْنَ. كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَالَا تَفْعَلُوْنَ. الصف:3-2

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuta?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. (Q.S Ash Shaff:2-3)

Ayat tersebut jelas menerangkan tentang ketidak senangan Allah terhadap orang-orang yang mengatakan atau berkata sesuatu tetapi tidak mengerjakannya. Dilihat pada konteks ayat sebelum dan sesudahnya, ayat tersebut turun berkaitan dengan perbuatan sekelompok umat islam (pada masa Rasulullah) yang tidak menepati janjinya seperti yang diceritakan Ibnu Abbas: Ada beberapa orang diantara kaum mukminin, sebelum diwajibkan jihad mengatakan: “Kami menginginkan agar Allah menunjukkan amal yang paling disukai-Nya, sehingga kami akan mengerjakannya”, maka Allah memberitahukan pada Nabi, bahwa amal yang paling disukai allah adalah iman kepada-Nya tanpa keraguan dan jihad terhadap orang-orang yang durhaka kepada-Nya dan mengingkari keimanan kepada-Nya dan pengakuan risalah Nabi-Nya. Ketika kewajiban jihad diturunkan, maka beberapa diantara kaum mukminin tidak menyukainya, dan merasa berat terhadapnya. Maka Allah menurunkan ayat 1 sampai 4 surat Ash Shaff.

Kemudian pada ayat 2 (kedua): “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatkan apa yang kamu tidak perbuat?”. Ayat ini diawali dengan menyebut orang-orang yang beriman. Panggilan yang mengandung penghormatan yang tinggi. Tetapi Allah mengiringinya dengan pertanyaan dan pertanyaan itu mengandung keheranan dan keingkaran. Kamu mengaku orang beriman dan Tuhan pun telah memanggil kamu dengan panggilan yang penuh dengan penghormatan itu. Tetapi kamu kedapatan mengatakan apa yang tidak pernah kamu kerjakan, tidaklah patut timbul dari orang yang telah mengatakan beriman kepada Allah.

Memang berkata jauh lebih mudah daripada berbuat. Perkataan keluar dari mulut, sedangkan perbuatan ditentukan oleh hati dan kemauan. Orang yang pandai berbicara tapi tidak pandai berbuat hanya menjadikan dirinya bahan olok-olokan orang lain dan dianggap tidak mempunyai pendirian yang teguh. Dan ini bisa menurunkan harga dirinya di kalangan masyarakat.

Orang yang sering berkata atau sering berjanji tetapi tidak dipenuhi janjinya, maka oleh Nabi dikelompokkan sebagai orang munafik, seperti dalam haditsnya dari Abu Hurairah:

اَنَّ رَسوْلَ اللهِ ص.م  قَالَ : اَيَةُ اْلمُنَافِقِ ثَلَاثٌ, اِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَاِذَا وَعَدَ اَخْلَفَ وَاِذَا اُؤْتُمِنَ خَانَ.     متفق عليه

Artinya: “Bahwa Rasulullah SAW bersabda: tanda orang munafik itu ada tiga, jika berkata-kata dusta, dan jika berjanji menyalahi, dan jika dipercaya berkhianat”. (HR. Bukhari-Muslim)

Kemudian dilanjutkan pada ayat 3; “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan”. Ini mempertandakan bahwa amat sangat Allah membenci pada orang-orang yang apabila berbicara atau berkata, namun dia sendiri tidak pernah mengerjakan dan melakukan apa yang dia katakan, belum lagi apa yang disampaikan juga sama sekali tidak sesuai dengan perbuatannya. Ini merupakan sikap yang sungguh tidak layak dimiliki oleh orang-orang beriman.

Pada ayat 2 dan ayat 3 tersebut di atas tadi adalah bentuk peringatan keras bagi semua mukminin, semua orang-orang yang berimana agar supaya selalu menjaga dirinya, menjaga agar tidak menjadi pendusta. Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW berkata:

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ اِلَى مَالَا يَرِيْبُكَ فَاِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَالْكَذِبَ رِيْبَةٌ. رواه الترمذى

Artinya: “Tinggalkan barang-barang yang menimbulkan keraguan engkau dan ambil yang tidak meragukan, sesungguhnya kejujuran membuat hati tentram dan dusta adalah membuat hati ragu-ragu”.

Oleh karena itu, kita sebagai orang-orang yang beriman sudah semestinya memelihara sikap konsekwen, artinya apa yang kita ucapkan hendaknya juga kita iringi dengan perbuatan nyata. Janganlah kita sampai seperti “lilin” , lilin dapat menerangi tapi dirinya sendiri habis terbakar. Firman Allah SWT yang senada dengan ayat-ayat di atas adalah sebagai berikut:

اَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِاْلبِرِّ وَتَنْسَوْنَ اَنْفُسَكُمْ وَاَنْتُمْ تَتْلُوْنَ اْلكِتَبَ, اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ  البقرة : 44

Artinya: “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? (Al Baqarah : 44).

Sekian, semoga kita semua mampu menjadi orang-orang yang beriman, kemudian menjadi orang beriman yang selalu menjaga diri untuk tidak menjadi pendusta. Semoga Allah SWT selalu memberkahi kita semua. Amiin.
Setelah menguraikan 5 (lima) cobaan yang akan diberikan Allah kepada hambanya, pada posting sebelumnya (TABAH SERTA SABAR DALAM COBAAN Part I), dijelaskan diakhir bahwasannya sabar adalah kuncinya, ditegaskan pada ayat "Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar". Kemudian dilanjutkan dengan bahwa orang yang sabar adalah mereka yang apabila ditimpa musibah lalu mengucapkan:

اِنَّا لِلهِ وَاِنَّا اِلَيْهِ رَجِعُوْنَ

“sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepadaNya kami kembali”

Kalimat di atas disebut kalimat “Istirjaa” (pernyataan kembali kepada Allah)
Di dalam firman Allah yang berbunyi:  اِنَّا لِلهِ
menunjukkan pengakuan hamba terhadap Allah sebagai Tuhan yang disembah dan diagungkan. Sedangkan di dalam firman Allah yang berbunyi:  وَاِنَّا اِلَيْهِ
merupakan pengakuan hamba terhadap Allah bahwa ia akan mati dan dibangkitkan kembali dari kubur. Juga merupakan ungkapan keyakinan bahwa perkara itu kembalinya kepada Allah SWT.

Disamping itu pengertian sabar juga ialah “terus berusaha sampai berhasilnya cita-cita dengan ketetapan hati yang teguh tidak menghiraukan pekerjaan itu berat atau ringan”. Sebagai contoh bila si A terkena penyakit maka ia tidak membiarkan begitu saja penyakitnya tapi berusaha mencari obat atau berobat sehingga hilang rasa sakitnya. Artinya si A tidak menyerah begitu saja tidakhanya menerima saja tanpa ikhtiar (usaha).

Kelima macam cobaan tersebut di atas tidak bisa dihindari datang silih berganti datang tanpa melihat kedudukan manusia. Oleh karena itu “sabar” adalah sikap paling ampuh untuk menghilangkan rasa putus asa.

Dengan cobaan ini kaum muslimin menjadi umat yang kuat mentalnya umat yang mempunyai keyakinan yang kokoh, jiwa yang tabah, dan tahan uji. Seyogyanya umat Islam mengambil suri tauladan dari umat terdahulu umat yang ditunjukkan ke jalan yang lurus. Mereka menghiasi dirinya dengan sifat sabar. Sifat yang tak pernah berkeluh kesah ataupun putus asa. Mereka yakin dengan kesabaran itu segala kesulitan akan terpecahkan dan akan didapati jalan keluarnya.

Dalam sejarah kita jumpai bagaimana cobaan yang diberikan kepada Nabi Nuh Ibrahim Musa Ayub Zakaria Ismail Isa serta Nabi Muhamad SAW. Bahkan ada yang dijuluki Ulul Azmi artinya para Nabi yang penuh kesabaran. Nabi Muhamad mendapat cobaan yang bertubi-tubi dihina dicaci maki dikucilkan disakiti diteror dan sebagainya. Semuanya itu adalah rangkaian kejadian yang datang dari Tuhan untuk mempertebal keyakinannya kepada Allah dan mengangkat harkat derjatnya.

Memang sabar adalah sifat keutamaan yang harus dimiliki oleh setiap orang Islam dalam menghadapi urusan agama dan dunianya karena jika seseorang tidak mempunyai kesabaran tidaklah akan tercipta di atas bumi ini karya-karya besar dan orang-orang besar (terkemuka). Kesabaran erat kaitannya dengan sikap mental dan iman manusia. Semakin tebal iman seseorang semakin banyak cobaan yang dihadapinya. Dunia ini merupakan rangkaian percobaan hidup dan setiap manusia dalam hidupnya tidak lepas dari cobaan dan ujian. Bila tidak ingin mendapat cobaan bukan di dunia ini tempatnya melainkan nanti di akhirat tempat semua orang menerima balasan dari semua amal perbuatan yang telah dilakukannya semasa hidup di dunia.

Segala bentuk cobaan berupa rasa takut, rasa lapar, kekurangan harta, jiwa dan kekurangan buah atau bahan makanan harus diyakini bahwa semua itu dari Allah. Semua itu berjalan sesuai dengan ketentuan yang disebut sunnatullah atau hokum alam yang berlaku bagi makhlukNya. Oleh karena itulah Allah mengajarkan agar semua cobaan dikembalikan kepadaNya.

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang diterima dari Ummu Salamah yang mengatakan; Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ اِنَّا لِلهِ وَاِنَّا اِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ اَللَّهُمَّ اَجِرْنِى فِيْ مُصِيْبَتِى وَخْلُفْ لِيْ خَيْرًا مِنْهَا اِلاَّ اَجَرَهُ اللهُ فِيْ مُصِيْبَتِهِ وَاَخْلَفَ لَهَ خَيْرًا مِنْهَا

Artinya: “Seseorang yang ditimpa musibah, lalu ia berkata; “Sesungguhnya kami ini kepunyaan Allah dan kami hanya kembali kepada-Nya. Ya Allah, berilah hamba pahala atas musibah ini, dan gantilah dengan yang lebih baik”, maka Allah akan member pahala atas musibah tersebut, dan Allah akan menggantinya yang lebih baik”.

Kemudian Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah hadits Nabi dari Abdullah ibnu Abbas dari Nabi SAW, Beliau bersabda:

مَنِ اسْتَرْجَعَ عِنْدَ اْلمُصِيْبَةِ جَبَّرَ اللهُ مُصِيْبَتَهُ وَاَحْسَنَ عَاقِبَتَهُ وَجَعَلَ لَهُ خَلَفًا صَالِحًا يَرْضَاهُ

Artinya: “Barangsiapa yang mengucapkan “istirjaa” (innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun) ketika tertimpa musibah, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik, dan Allah akan membalasnya dengan kebaikan, serta akan dianugerahi penerusnya (anak) yang shaleh yang disenanginya”.

Kemudian dilanjutkan pada ayat berikutnya (ayat 157) yang memberikan kabar gembira yang akan diperoleh orang-orang yang beriman dan yang sabar dalam menghadapi cobaan dan musibah dari Allah, yaitu berupa pemberian berkah, ampunan, rahmat dan pujian dari Allah SWT, dan mereka akan mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus dan benar.

Berkah dan atau karunia atau anugerah adalah makna dari kata “shalawat”, berasal dari kata “shalat”. Kata “shalat” mempunyai banyak arti, yaitu sebagai berikut:
•    Shalat dalam arti melaksanakan shalat wajib (shalat lima waktu) dan shalat-shalat sunat. Kata “shalat” di sini, mengandung arti berdo’a dan melakukan perbuatan yang dimulai dari takbiratul ihram hingga salam
•    Shalawat untuk Rasul berarti do’a atau mohon agar beliau diberi Allah SWT karunia dan kemulian
•    Shalawat untuk hamba Allah, berarti anugerah dan perlindungan dari Allah untuk hamba-Nya.

Jadi surat Al Baqarah ayat 155-157 adalah sebagai peringatan awal bagi orang yang beriman, bahwa pada suatu saat mereka akan mendapat cobaan dari Allah SWT, berupa lima macam cobaan atau salah satunya. Sabar adalah sifat paling baik untuk menghadapi cobaan itu. Sabar tidak berarti menerima cobaan itu dengan berdiam diri, tapi harus diiringi dengan ikhtiar atau usaha. Kemudian tidak lupa apabila cobaan itu datang hendaknya dikembalikan kepada Allah seraya mengucapkan; “innaa lillahi wa innaa ilaihi rajiuun”. Kalau demikian insya Allah mereka akan mendapat anugerah kemuliaan dari Allah dan akan mendapat rahmat dan petunjuk-Nya. Itululah jalan yang lurus. Amin.
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْئٍ مِّنَ اْلخَوْفِ وَاْلجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ اْلاَمْوَالِ وَاْلاَنْفُسِ وَالثَّمَرَتِ, وَبَشِّرِ الصَّبِرِيْنَ. الَّذِيْنَ اِذَآاَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ, قَالُوْآ اِنَّا لِلهِ وَاِنَّا اِلَيْهِ رَجِعُوْنَ. اُوْلَئكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرَحَمَةٌ, وَاُوْلَئكَ هُمُ اْلمُهْتَدُوْنَ.

 Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Q.S. Al Baqarah, 155-157)

Secara umum ayat ini mengemukakan adanya cobaan yang akan menimpa diri manusia, terutama orang yang beriman. Setelah itu Allah memberikan jalan keluarnya kepada orang yang ingin mendapat petunjukNya, berupa keberkahan yang sempurna dan rahmatNya.

Secara khusus ayat tersebut berkaitan dengan para sahabat Nabi. Mereka dalam mengamalkan dan menyiarkan Islam banyak mendapat tekanan dan rintangan, baik yang bersifat fisik maupun mental. Cobaan dan rintangan datang silih berganti dalam berbagai keadaan. Orang-orang kafir quraisy mengancam Nabi dan para sahabat terus menerus, begitu juga Yahudi dan orang-orang munafik yang menggerogoti dari dalam. Semua itu adalah cobaan dari Allah semata.

Namun demikian, ayat ini juga berlaku untuk semua manusia dari segala zaman. Dalam menghidupi hidup ini segala macam cobaan akan datang silih berganti, lebih-lebih bagi para penegak kebenaran. Tapi yakinilah bahwa semuanya itu aan dapat diatasi dengan baik bila dijalani sesuai dengan petunjuk Allah.

Cobaan-cobaan yang akan datang kepada manusia berdasarkan surat Al Baqarah ayat 155 ialah rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan atau makanan.

  • Rasa Takut  (الخوف) 
Rasa takut ini menghantui sebagian para sahabat Nabi, karena ancaman orang musyrik (kaum quraisy) dari Makkah dan ancaman kabilah-kabilah dari luar kota Madinah yang bermaksud hendak menyerang Madinah, fitnah orang Yahudi selalu mengintai kesempatan dan ancaman orang munafik yang selalu merongrong dari dalam. 
Dalam keadaan senang atau susah, rasa takut atau khawatir seringkali dialami dalam kehidupan manusia, misalnya takut kehilangan orang yang paling dicintai, takut kehilangan harta, kehilangan kasih saying, kehilangan kesehatan, kehilangan ketampanan, kecantikan, takut kehilangan pekerjaan dan yang paling ditakuti lagi adalah kematian.
  • Kelaparan  (الجوع)
Cobaan yang kedua yang dirasakan manusia adalah rasa lapar atau kelaparan. Lapar bisa terjadi karena tidak mempunyai sesuatu untu dimakan atau kehabisan bekal pada saat bepergian atau lapar pada saat melaksanakan kewajiban puasa. Untuk orang yang tidak kuat imannya, rasa lapar dapat membuat diri lupa akan hak-hak dan kewajiban. Lupa kepada Tuhan, lupa apakah yang dimakan itu haknya atau bukan, apakah itu halal atau haram dan sebagainya. Rasa lapar yang berkepanjangan terkadang membuat orang rela menukar aqidahnya. Untuk itu Rasulullah SAW mengingatkan: 
كَادَ اْلفُقْرَ اَنْ يَّكُوْنَ كُفْرًا

Artinya: “Nyaris kefakiran menjadikan seseorang kufur”
  • Kekurangan Harta   ( نقص من الاموال)
 Para sahabat Nabi yang berhijrah ke Madinah, umumnya meninggalkan harta bendanya di Makah. Mereka hidup dalam kesederhanaan bahkan serba kekurangan, walaupun untuk beberapa lama mereka dijamin dan dibantu oleh orang-orang Anshar. Allah melimpahkan rizki kepada hambaNya tidak sama, ada yang dilebihkan sementara yang lainnya kurang dan sedikit. Allah  lah yang mengetahui rahasia ini semua. Perjalanan hidup manusia tidak ubahnya seperti lautan, ada pasang dan surut, pada saat ia berada di atas, pada saat yang lain berada di bawah. Itulah kehidupan dunia.
  • Jiwa  (الانفس)
Orang Islam yang hijrah ke Madinah tanpa membawa bekal dan jauh dari sanak keluarga, tentu sedikit banyak mempengaruhi jiwanya. Pada saat itu jiwa mereka sedang dicoba Tuhan. Mereka tidak tahu apakah dapat kembali ke kampong halamannya berkumpul bersama keluarganya atau tidak. Bukan hal yang mudah untuk mengatasi itu semua.
kita maklum, ketenangan dan eresahan jiwa seseorang erat kaitannya dengan keadaan kehidupan yang dialaminya. Banyak sebab yang menjadikan jiwa tidak tenang dan resah, misalnya karena kematian orang yang dicintai, apaah itu istri atau anak, atau karena cita-citanya yang tidak tercapai, memuncaknya tekanan ekonomi keluarga dan sebagainya.
  • Buah-buahan ( الثمرت)
Cobaan yang terakir yang diberikan Allah kepada manusia berdasarkan ayat di atas tadi adalah kekurangan buah-buahan atau bahan makanan. Hasil bumi seperti buah-buahan atau bahan makanan di setiap negeri tidak sama. Apa yang ada di tanah Arab tidak sama dengan apa yang ada di Indonesia begitu juga di Negara lainnya. Tapi Allah telah mengatur sesuai dengan kondisi di negeri masing-masing.
Pada suatu saat buah-buahan melimpah, tapi dilain waktu bisa mengurang bahkan sangat kekurangan. Kekurangan buah-buahan atau bahan makanan bukan semata-mata hasil panen yang kurang baik, tapi bisa terjadi karena adanya permainan yang sengaja oleh pihak tertentu yang ingin menyengsarakan orang lain.

Pada masa Rasulullah SAW kekurangan buah-buahan suka terjadi, akibatnya banyak umat Islam termasuk Nabi kadang-kadang hanya makan dua buah kurma dalam sehari. Ingat kejadian yang menimpa umat Islam ketika diboikot oleh kaum kafir quraisy di Makkah.

Beberapa puluh tahun yang lalu di Indonesia pernah terjadi kelaparan yang sangat berat, kelaparan terjadi di mana-mana secara merata. Banyak orang yang memakan sesuatu yang tidak pantas untuk dimakan.

Demikianlah lima macam cobaan yang menimpa manusia berdasarkan surat Al Baqarah ayat 155-157. Bagi orang yang beriman tidak ada jalan lain kecuali menerimanya dengan lapang dada dan diyakininya bahwa itu semata-mata cobaan dari Allah SWT kemudian berusaha sekuat tenaga untuk mengatasinya. Untuk itulah ayat ini dilanjutkan dengan, “Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar”. to be continue....
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ ص م : قَا لَ عَلَى اْلمَرْءِ اْلمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا اَحَبَّ وَكَرِهَ اِلاَّ اَنْ يُؤْمَرُ بِمَعْصِيَةٍ. فَاِنْ اُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَطَاعَةَ (متفق عليه

Artinya; “Darri Abu Umar ra, dari Nabi SAW, bersabda : Menjadi kewajiban orang muslim untuk selalu mendengar dan patuh (kepada pemimpin) baik dalam hal yang ia senangi atau ia benci, kecuali ia disuruh melakukan maksiat, maka tidak ada keharusan mendengar dan mematuhi”. (H.R. Bukhari-Muslim)

Yang dimaksud ulil amri (pemimpin) di sini adalah pemimpin masyarakat di dalam berbagai segi kehidupan. Baik itu pemimpin keagamaan, masyarakat, organisasi atau pemimpin Negara. Setiap pemimpin mempunyai kebijaksanaan dan peraturan tersendiri, lebih-lebih pemimpin dalam suatu Negara, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Dalam rangka menciptakan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera, tentunya harus ada aturan yang harus diikuti dan dipatuhi oleh setiap rakyatnya.

Pada hadits di atas Nabi Muhamad SAW berpesan kepada setiap muslim hendaknya mendengar dan mematuhi apa-apa yang menjadi keputusan, kebijaksanaan dan perundang-undangan yang telah dibuat oleh para pemimpinnya atau pemerintahnya. Baik keputusan atau perundang-undangan itu ia senangi atau tidak. Peraturan atau perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemimpin bisa jadi disenangi, karena memberi manfaat dan keuntungan pada dirinya. Dan bisa jadi peraturan atau perundang-undangan itu tidak disenanginya, karena dapat merugikan dirinya atau tidak dapat memberikan manfaat baginya, walaupun mungkin akan memberikan manfaat pada orang lain.

Selama peraturan atau perundang-undangan itu tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka sebagai muslim yang baik harus mematuhinya. Seorang muslim harus berpandangan luas, tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Sebab pemimpin tidak hanya memikirkan kepentingan orang pribadi, tapi untuk kepentingan dan kemaslahatan umum.

Oleh karena itu, bila pemimpin memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan kepentingan kaum muslimin, maka Rasulullah mewajibkan umatnya untuk mentaatinya, baik perintah itu ia senangi atau tidak. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 216 ;
وَعَسَى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـأً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ (الْبقرة : 216)
Artinya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik  bagimu”. (Q.S Al Baqarah:216)

Kemudian suatu urusan apabila oleh kaum muslimin dianggap baik, maka di sisi Allah juga baik, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:

عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. مَا رَآهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ (رواه احمد)
Artinya: “Dari Anas ra, berkata: Rasulullah SAW bersabda: Apa yang dianggap oleh kaum muslimin sesuatu itu baik, maka di sisi Allah juga baik”. (HR. Ahmad)

Apabila Negara dalam keadaan genting, agama terancam dan pemimpin mengajak kaum muslimin untuk mempertahankannya, maka wajib dituruti. Begitu juga bila diminta berkorban harta benda, untuk membiayai Negara demi kemajuan bangsa, maka harus ditaati. Bila diminta untuk menjaga keamanan lingungan, dihimbau untuk memperhatikan masalah sosial, sudah sewajarnyalah dipatuhi. Segala perintah mereka wajib didengar dan ditaati, serta dilaksanakan, selama perintah itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Kunci keberhasilan suatu Negara diantaranya terletak pada ketaatan, kesetiaan dan tanggung jawab warganya. Ketaatan kepada pemimpin berarti ketaatan kepada Rasul dan ketaatan kepada Rasul berarti ketaatan kepada Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW:

مَنْ اَطَاعَنِى فَقَدْ اَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِى فَقَدْ  عَصَى اللهَ وَمَنْ يُطِعِ اْلاَمِيْرِ فَقَدْ اَطَاعَنِى وَمَنْ يَعْصِ اْلاَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِى. (متفق عليه)
Artinya: “ Siapa yang taat kepadaku, berarti ia taat kepada Allah, dan siapa yang durhaka kepadaku, maka berarti ia durhaka kepada Allah. Dan siapa yang taat kepada Amir (pemegang pemerintahan), berarti ia taat kepadaku, dan siapa yang durhaka kepada Amir, berarti ia durhaka kepadaku”. (Muttafaq Alaih)

Apabila kaum muslimin tidak mau mendengar dan tidak mematuhi dan tidak ada rasa tanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi di Negara tempat ia tinggal, maka kehancuranlah yang akan terjadi dan sekaligus menjadi bencana bagi umat Islam. Sebaliknya apabila Ulil Amri memerintahkan kea rah dilarang dan dimurkai Allah dan RasulNya, maka tidak boleg dituruti lagi perintahnya. Jadi, kepatuhan terhadap mereka mempunyai batasan tertentu, yakni selama mereka memimpin dan mengarahkan kepada hal-hal yang tidak termasuk maksiat. Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:

لَاطَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ اْلخَالِقِ.
Artinya: “ Tidak boleh patuh kepada makhluk dalam hal maksiat kepda halik (Allah)”.

Contoh: Apabila ada pemimpin yang memerintahkan agar menghalangi orang yang hendak ibadah, merampas harta orang, memberikan kesaksian palsu dan minta bantuan untuk hal-hal yang tidak diridhai Tuhan, maka tidak perlu dipatuhi. Yang wajib dipatuhi adalah ketentuan Allah. Tetapi penolakan perlu dilakukan dengan arif dan bijaksana, untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Bahkan jangan segan-segan untuk meberikan masukan yang baik kepada pemerintah.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa perintah ulil amri itu wajib dipatuhi selama bersesuaian dengan perintah Allah dan RasulNya. Tapi kalau ulil amri memerintahkan hal yang bertentangan dengan perintah dan larangan Allah dan RasulNya, dikala itu perintah mereka tidak wajib dipatuhi, bahkan harus dijauhi secara bijaksana.
Memahami Tradisi Kupatan
 
Suatu adat juga kebiasaan turun menurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan di masyarakat, ini tentunya harus mendapatkan sebuah perhatian khusus, dikarenakan mengapa, ketika sebuah tradisi tersebut mulai tergeser dengan tradisi baru, maka substansinya akan berbeda dan timbullah hal yang baru pula. Membicarakan terkait kupatan, ini juga merupakan sebuah tradisi yang muncul di kalangan umat Islam. Dalam tradisi Jawa, seusai Ramadhan pasti diadakannya sebuah perayaan yang sering kali disebut dengan sebutan bhada atau riyoyo (dalam bahasa Jawa) yang terdiri dari dua macam, yakni bhada lebaran dan bhada kupat. Secara bahasa, bhada berasal dari bahasa Arab “ba’da” yang artinya sudah. Sedangkan riyoyo itu berasal dari bahasa Indonesia “riah” (ramai yg bersifat suka ria) riang gembira atau suka cita. Kemudian kata lebaran itu berasal dari kata lebar yang berarti selesai (rampung;dlm bahasa Jawa), dalam artian sudah selesainya pelaksanaan ibadah puasa yang dijalankan selama sebulan penuh dan memasuki bulan Syawwal/Idul Fitri, yang kaitannya hari ini disebut dengan “riyoyo” dikarenakan sikap merasa bersuka cita umat Islam dengan ekspresi kegembiraan mereka dengan lantaran menyandang predikat fitrah atau kembali ke kesucian. Sedangkan Ketupat itu merupakan sebuah makanan khaas yang bahannya terbuat dari beras yang dibungkus selongsong yang terbuat dari daun kelapa muda atau janur dan dianyam berbentuk segi empat. Umumnya kupat dihidangkan oleh kalangan umat muslim bersamaan dengan hari ke 7 atau ke 8 dari bulan syawal, yang konon pada hari itu terkenal dengan sebutan “Kupatan” atau “Riyoyo Kupat”. Lalu dari mana asal usul tradisi Kupatan tersebut?

Asal usul, kalau asal jangan usul, kalau usul jangan asal.
Tradisi Kupatan


Tidaklah mudah memberikan atau bahkan menemukan sebuah kajian ilmiah tentang sejarah atau asal usul kupat. Namun kiranya dari berbagai sumber sedikit kiranya bisa dijadikan bahan pemikiran, dimana masyarakat Jawa mempercayai bahwa kupat ini berawal dari Sunan Kalijaga, atau Sunan Kalijaga merupakan orang yang berjasa dalam hal mentradisikan kupatan dengan beberapa makna filosofis yang terkandung dalam makanan ini.

•    Kata “kupat” berasal dari bahasa Jawa “ngaku lepat” (mengakui kesalahan). Ini mengisyaratkan bahwa kita yang hanya sebagai manusia biasa selalu pernah melakukan kesalahan kepada siapapun khususnya pada sesama. Maka adanya kupatan ini yang sekedar mengingatkan agar sama-sama mengakui kesalahan kita masing-masing, dan rela untuk saling memaafkan.
•    Kata “Kupatan” juga berasal dari bahasa Arab “Kaffatan” (kesempurnaan) yang kemudian ditandingkan dengan lughah Jawa dan supaya gampang ingan dan mengucap maka terbiasalah dengan sebutan atau ucapan “kupatan”. Kesempurnaan di sini adalah menjadi titik ujung kesempurnaan yang telah kita terima dari anugrah yang telah diberikan oleh Tuhan berupa Fitrah. Dengan adanya “kupatan” ini berarti menandakan sebuah kesempurnaan.
•    Kesempurnaan yang kemudian dilambangkan dengan bentuk kupat yang terbuat dari janur (sejatine nur), ini melambangkan bagaimana kondisi umat muslim setelah mendapatkan pencerahan selama bulan suci ramadhan, secara pribadi-pribadi mereka kembali pada fitrah, kesucian atau jati diri manusi yang bersih dari noda dan bebas dari dosa.
•    Kesempurnaan dan kesucian diri yang juga dilambangkan dengan isi kupat yang berisi beras (segenggam beras) dan karena butir-butir beras tadi saling menyatu dalam selongsong janur dan rela direbus sampai matang, masak, maka jadilah sebuah makanan yang mengenyangkan dan enak dimakan. Ini adalah sebuah simbol dari persamaan juga kebersamaan persatuan dan kesatuan, dimana yang demikian itu merupakan seuntai pesan moral terhadap umat agar sama-sama rela untuk menjalin persatuan dan kesatuan sesama umat, untuk diri pribadi, lingkungan, masyarakat, bangsa dan negara.
Namun sedemikian itu, meski sudah menjadi sebuah tradisi turun temurun dan terus dilakukan, juga tak jarang muncul sebuah polemik di kalangan umat muslim, dimana ada juga yang menganggap sebuah tradisi tersebut sebagai Bid’ah dan sesat, dikarenakan termasuk mengada-ada dalam masalah ibadah. Setelah bulan suci ramadhan, dan memasuki syawal (1 syawal/Idul Fitri) maka pada saat itu seluruh kaum muslim diharamkan untuk berpuasa, terkecuali ketika mulai pada hari ke 2 bulan syawal, baru ada anjuran (sunnah muakkad) untuk melakukan puasa selama enam hari, berturut-turut sejak tanggal 2 syawal  ataupun terpisah, selama masih dalam bulan syawal, sebagaimana sabda Nabi SAW :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصَوْمِ الدَّهْرِ. رواه مسلم (الجامع الصغير ص 307)
Artinya :
“Barang siapa berpuasa Ramadlan kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan syawwal, maka yang demikian itu seperti puasa setahun”. (HR. Imam Muslim)


Kemudian setelah puasa syawal, tidak ada anjuran atau tuntutan melakukan dan menyelenggarakan tradisi tertentu (di sini yang dimaksudkan adalah kupatan), maka barang siapa melakukan tradisi tertentu atau tradisi riyoyo kupat pada tanggal 8 syawal, maka hal itu dianggap Bid’ah (suatu hal yang baru). Kenapa demikian, dikarenakan dianggap suatu hal yang dulunya (zaman Rasul dan para sahabat) tidak pernah melakukan dan tidak pernah diajarkan. Inilah yang kemudian menjadi bermunculan multipersepsi di kalangan umat Islam, antara yang Bid’ah dan tidak, antara yang melakukan dan tidak mau melakukan. Namun tidaklah ini menjadi sebuah kerumitan dan menjanggal kita, coba kita pecahkan dan kita pikirkan dari paradigma bahasa yakni interpretasi dari makna Bid’ah itu sendiri, juga bagaimana status amaliyah dari tradisi riyoyo kupatan itu sendiri.

Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 117 yang artinya : “Allah Pencipta langit dan bumi, ...”. Yang dimaksud di sini adalah mencipta (membuat) tanpa ada contoh sebelumnya.
Juga firman-Nya dalam Q.S  Al-Ahqaf ayat 9 yang artinya : “Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara rasul-rasul’ ”. Maksudnya adalah aku bukan Rasul pertama yang diutus ke dunia ini. Sedangkan ada yang mendefinisikan Bid’ah secara mutlak, yakni segala hal yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Sesuatu yang ada kaitannya dengan ibadah dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi adalah Bid’ah dan haram untuk dilakukan. Oleh karena itulah tradisi kupatan ini dikategorikan sebagai ibadah madlah (ritual murni) yang terikat dengan tata cara yang didasarkan pada tauqif  (Jawa;piwulang) dari nabi, dan hal itu dianggap mengada-ada dan itu adalah bid’ah, sedangkan setiap bid’ah adalah dlalalah. Sabda Nabi SAW:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. رواه البيهقي عن عائشة (الجامع الصغير ص 296)
Artinya :
“Barang siapa mengada-ada di dalam urusan agama kita ini, sesuatu yang tidak bersumber darinya, maka hal itu ditolak” (HR. Imam Baihaqi)
Dan sabda Nabi SAW. :
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ ذَلِكَ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه أبو داود والترمذي. أَيْ بَاعِدُوْا وَاْحذَرُوْا اْلأَخْذَ بِاْلأُمُوْرِ الْمُحْدَثَةِ فِي الدِّيْنِ. (المجالس السنية شرح الأربعين النووية ص 87)
Artinya :
“Jauhilah hal-hal baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya hal tersebut adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) yakni kamu sekalian harus menjauhi dan mewaspadai perkara-perkara baru dalam agama.
Namun selain daripada itu, ada lagi yang kemudian pendapat mengklasifikasikan bid’ah itu menjadi dua bagian, yakni bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (buruk), dan berpendapat bahwaasannya tradisi kupatan itu adalah dikategorikan sebagai ibadah ghairu mahdlah (tidak murni) yang yang perintahnya ada, namun dalam hal pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi, maka adanya tradisi itu dianggap amrun mustahsan (sesuatu yang dianggap baik). Penjelasan ini bukan berarti mengingkari dari pada dua hadits yang telah disebutkan di atas tadi, akan tetapi mencoba memahami hadits tersebut dengan paradigma yang lebih luas, dalam artian tidaklah semua bid’ah itu dlalalah (sesat), namun ada juga bid’ah yang hasanah (bagus) yaitu suatu hal baru yang tidak merusak akidah dan tidak menyimpang dari syari’at, sebagaimana dijelaskan dalam kitabnya Syaikh As-Sayyid Muhammad Alwi “Al-Ihtifal bidzikro maulidin nabi” :
قَالَ اْلإِمَامُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: مَا أَحْدَثَ وَخَالَفَ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا أَوْ أَثَرًا فَهُوَ الْبِدْعَةُ الضَّالَّةُ، وَمَا أَحْدَثَ مِنَ الْخَيْرِ وَلَمْ يُخَالِفْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ الْمَحْمُوْدُ.
Artinya :
“Imam Syafi’i berpendapat bahwa amalan apa saja yang baru diadakan dan amalan itu jelas menyimpang dari kitabullah, sunnah rasul, ijma’us shahabah atau atsaratut tabi’in, itulah yang dikategorikan bid’ah dlalalah/sesat atau tercela. Sedangkan amalan baik yang baru diadakan dan tidak menyimpang dari salah satu dari empat pedoman di atas, maka hal tersebut termasuk hal yang terpuji”.
Juga dalam kitab yang sama beliau menyimpulkan pendapat Imam Syafi’i tersebut sebagai berikut :
فَكُلُّ خَيْرٍ تَشْتَمِلُهُ اْلأَدِلَّةُ الشَّرْعِيَّةُ وَلَمْ يُقْصَدْ بِإِحْدَاثِهِ مُخَالَفَةُ الشَّرِيْعَةِ وَلَمْ يَشْتَمِلْ عَلَى مُنْكَرٍ فَهُوَ مِنَ الدِّيْنِ.
Artinya :
“Jadi setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan mengadakannya tidak ada maksud menyimpang dari aturan syari’at serta tidak mengandung kemunkaran, maka hal itu termasuk “ad-din” (urusan agama)”.

Oleh karena itu, wahai sahabat/i yang dimuliakan Tuhan semuanya, amiin, menempatkan hukum riyoyo kupat itu tidaklah dengan seenaknya saja, harus dilihat dari substansi masalahnya, yaitu ajaran silaturrahim, saling memaafkan juga ajaran tentang pemberian sodaqoh atau sedekah, yang mana hal tersebut perintahnya ada dalam dalil syar’i, namun daripada itu teknis dalam hal pelaksanaannya bisa dilakukan dengan beragam cara.

Dalil syar’i tentang silaturrahim antara lain : hadits riwayat Tirmidzi :
أَسْرَعُ الْخَيْرِ ثَوَابًا الْبِرُّ وِصِلَةُ الرَّحِمِ. رواه الترمذي عن عائشة
Artinya :
“Amal kebajikan yang paling cepat mendapatkan pahala adalah ketaatan dan silaturrahim”.

Dalil syar’i tentang memberikan maaf antara lain QS. An-Nur 22 :
وَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْا أَلاَ تُحِبُّوْنَ أَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ. النور : 22.
Artinya :
“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada, apakah kamu tidak ingin Allah akan mengampunimu? Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang”. (QS. An-Nur : 22)

Dalil syar’i tentang memberikan sedekah antara lain :
  تَصَدَّقُوْا وَلَوْ بِتَمْرَةٍ. رواه ابن المبارك
Artinya :
“Bersedakahlah kamu, meskipun hanya berupa sebutir kurma” (HR. Ibnu Mubarak).

Itulah, sedikit dari beberapa pemaparan tentang tradisi kupatan, dimana tradisi kupatan itu tidak bisa dengan begitu saja disebut sebagai bid’ah atau tambahan dalam beribadah, melainkan tradisi kupatan adalah budaya lokal dimana budaya tersebut memiliki keterkaitan dengan syari’at Islam dan karena itulah kupatan tidak bisa dihukumi sebagai penyimpangan, apalagi dihukumi sebagai tindakan dlalalah (sesat).






 
 
 
 
 
 
 
Ditulis pada Sabtu 7 Syawal 1433 H / 25 Agustus 2012
Bagi yang menjalankan riyoyo kupat ataupun tidak, alangkah lebih baik bila kita saling menghargai dan menghormati antar sesama. Zaynunaddin.blogspot.com mengucapkan, Taqobalallahu minna wa minkum, minal aidin wal faizin, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433H Mohon Maaf Lahir dan Batin.