KESELARASAN ANTARA PERKATAAN DAN PERBUATAN

يَآَايُّهَا الَّذيْنَ اَمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَالَاتَفْعَلُوْنَ. كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَالَا تَفْعَلُوْنَ. الصف:3-2

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuta?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. (Q.S Ash Shaff:2-3)

Ayat tersebut jelas menerangkan tentang ketidak senangan Allah terhadap orang-orang yang mengatakan atau berkata sesuatu tetapi tidak mengerjakannya. Dilihat pada konteks ayat sebelum dan sesudahnya, ayat tersebut turun berkaitan dengan perbuatan sekelompok umat islam (pada masa Rasulullah) yang tidak menepati janjinya seperti yang diceritakan Ibnu Abbas: Ada beberapa orang diantara kaum mukminin, sebelum diwajibkan jihad mengatakan: “Kami menginginkan agar Allah menunjukkan amal yang paling disukai-Nya, sehingga kami akan mengerjakannya”, maka Allah memberitahukan pada Nabi, bahwa amal yang paling disukai allah adalah iman kepada-Nya tanpa keraguan dan jihad terhadap orang-orang yang durhaka kepada-Nya dan mengingkari keimanan kepada-Nya dan pengakuan risalah Nabi-Nya. Ketika kewajiban jihad diturunkan, maka beberapa diantara kaum mukminin tidak menyukainya, dan merasa berat terhadapnya. Maka Allah menurunkan ayat 1 sampai 4 surat Ash Shaff.

Kemudian pada ayat 2 (kedua): “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatkan apa yang kamu tidak perbuat?”. Ayat ini diawali dengan menyebut orang-orang yang beriman. Panggilan yang mengandung penghormatan yang tinggi. Tetapi Allah mengiringinya dengan pertanyaan dan pertanyaan itu mengandung keheranan dan keingkaran. Kamu mengaku orang beriman dan Tuhan pun telah memanggil kamu dengan panggilan yang penuh dengan penghormatan itu. Tetapi kamu kedapatan mengatakan apa yang tidak pernah kamu kerjakan, tidaklah patut timbul dari orang yang telah mengatakan beriman kepada Allah.

Memang berkata jauh lebih mudah daripada berbuat. Perkataan keluar dari mulut, sedangkan perbuatan ditentukan oleh hati dan kemauan. Orang yang pandai berbicara tapi tidak pandai berbuat hanya menjadikan dirinya bahan olok-olokan orang lain dan dianggap tidak mempunyai pendirian yang teguh. Dan ini bisa menurunkan harga dirinya di kalangan masyarakat.

Orang yang sering berkata atau sering berjanji tetapi tidak dipenuhi janjinya, maka oleh Nabi dikelompokkan sebagai orang munafik, seperti dalam haditsnya dari Abu Hurairah:

اَنَّ رَسوْلَ اللهِ ص.م  قَالَ : اَيَةُ اْلمُنَافِقِ ثَلَاثٌ, اِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَاِذَا وَعَدَ اَخْلَفَ وَاِذَا اُؤْتُمِنَ خَانَ.     متفق عليه

Artinya: “Bahwa Rasulullah SAW bersabda: tanda orang munafik itu ada tiga, jika berkata-kata dusta, dan jika berjanji menyalahi, dan jika dipercaya berkhianat”. (HR. Bukhari-Muslim)

Kemudian dilanjutkan pada ayat 3; “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan”. Ini mempertandakan bahwa amat sangat Allah membenci pada orang-orang yang apabila berbicara atau berkata, namun dia sendiri tidak pernah mengerjakan dan melakukan apa yang dia katakan, belum lagi apa yang disampaikan juga sama sekali tidak sesuai dengan perbuatannya. Ini merupakan sikap yang sungguh tidak layak dimiliki oleh orang-orang beriman.

Pada ayat 2 dan ayat 3 tersebut di atas tadi adalah bentuk peringatan keras bagi semua mukminin, semua orang-orang yang berimana agar supaya selalu menjaga dirinya, menjaga agar tidak menjadi pendusta. Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW berkata:

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ اِلَى مَالَا يَرِيْبُكَ فَاِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَالْكَذِبَ رِيْبَةٌ. رواه الترمذى

Artinya: “Tinggalkan barang-barang yang menimbulkan keraguan engkau dan ambil yang tidak meragukan, sesungguhnya kejujuran membuat hati tentram dan dusta adalah membuat hati ragu-ragu”.

Oleh karena itu, kita sebagai orang-orang yang beriman sudah semestinya memelihara sikap konsekwen, artinya apa yang kita ucapkan hendaknya juga kita iringi dengan perbuatan nyata. Janganlah kita sampai seperti “lilin” , lilin dapat menerangi tapi dirinya sendiri habis terbakar. Firman Allah SWT yang senada dengan ayat-ayat di atas adalah sebagai berikut:

اَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِاْلبِرِّ وَتَنْسَوْنَ اَنْفُسَكُمْ وَاَنْتُمْ تَتْلُوْنَ اْلكِتَبَ, اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ  البقرة : 44

Artinya: “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? (Al Baqarah : 44).

Sekian, semoga kita semua mampu menjadi orang-orang yang beriman, kemudian menjadi orang beriman yang selalu menjaga diri untuk tidak menjadi pendusta. Semoga Allah SWT selalu memberkahi kita semua. Amiin.

قُلْ يَعِبَا دِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَ فُوْا عَلَى اَنْفُسِهِمْ  لَاتَقْنَطُوْا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ  اِنَّ االلهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا  اِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الَّرحِيْمُ (الزمر:53)
Artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S Az Zumar ; 53)

Ayat tersebut menjelaskan tentang orang yang banyak melakukan kesalahan, kemudian Allah memberikan harapan agar supaya mereka tidak berputus asa dari rahmat Allah. Dikarenakan Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Menurut Ibnu Abbas, tentang turunnya ayat dari surat Az Zumar ayat 53 tersebut, dijelaskan bahwa suatu ketika penduduk Mekah berkata: “Muhammad telah menyatakan bahwa orang-orang yang menyembah berhala dan banyak membunuh orang tidak akan mendapat ampunan Allah. Apa gunanya kita berhijrah dan masuk Islam?”. Lalu turunlah ayat ini, yang member ketegasan bahwa janganlah berputus asa terhadap ampunan, rahmat dan kasih sayang Allah. Karena Dia akan mengampuni semua kesalahan hamba-hambaNya, bagaimanapun besar dan banyaknya kesalahan itu bila mereka mau bertaubat.

Allah SWT telah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk memberitakan kepada orang-orang mukmin yang telah melampaui batas terhadap dirinya sendiri, (yakni mereka yang melanggar aturan-aturan Allah, melakukan hal-hal yang diharamkan dan meninggalkan perintahNya), agar mereka tidak berputus asa dari rahmat Allah. Janji tersebut diungkapkan melalui firman-Nya:

لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ

Artinya: “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah”

Orang yang melakukan kesalahan lalu menyesali perbuatannya dan bertaubat, maka Allah akan mengampuninya, sesuai dengan firmanNya pada surat Al Furqan ayat 70:

اِلَّا مَنْ تَابَ وَاَمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَاُوْالئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّاَتِهِمْ حَسَنَتٍ, وَكَانَ اللهُ غَفُوْرًا رَحِيْمًا (الفرقن:70)

Artinya: “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka kejahatan mereka itu diganti Allah dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al Furqan : 70)

Pada ayat lain Allah SWT juga berfirman:

اَلَمْ يَعْلَمُوآ  اَنَّ اللهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ ....(التوبة:104)

Artinya: “Tiadakah mereka mengetahui, bahwa Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya…” (Q.S Qt Taubah : 104)

Juga lebih ditegaskan lagi dalam firman Allah SWT pada surat An Nisa’ ayat 110 :

وَمَنْ يَّعْمَلْ سُوْءً  اَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللهَ يَجِدِ اللهَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا  (النساء : 110)

Artinya: “ Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudan ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S An Nisa’ : 110)

Selain daripada itu, mari kita juga simak hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Amr bin Ash RA, berkata : Ada seorang laki-laki yang sudah sangat tua datang kepada Nabi SAW. Dia berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah melakukan berbagai pengkhianatan dan kedurjanaan. Maka mungkinkah aku diampuni?” Sabda Rasulullah saw, Bukankah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah? Maka orang tua ituun berkata: Tentu, dan aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah. Maka sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya telah diampuni pengkhianatan-pengkhianatanmu dan kedurjanaan-kedurjanaanmu’.

Taubat menurut arti aslinya adalah “kembali”. Maka orang yang bertaubat berarti “orang yang kembali”, sebab orang yang berdosa itu telah berpaling dari jalan Allah SWT, kemudian kembali ke jalan yang lurus. Dengan kata lain taubat adalah “memohon ampun kepada Allah SWT”.

Taubat kepada Allah harus disertai dengan niat yang ikhlas, penuh kesadaran serta berkeyakinan dalam hati bahwa Allah akan mengampuni dosanya, kemudian mengiringinya dengan amal shaleh. Diantara ulama’ ada yang mengemukakan tentang tata cara bertaubat, sebagai berikut:
·  Segera menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukannya
·  Berniat dan berjanji dengan sepenuh hati, tidak akan mengulangi kembali perbuatan dosanya itu
·  Memohon ampun dengan cara memperbanyak bacaan istighfar, berdzikir, serta berdo’a dengan do’a-do’a khusus yang ada hubungannya dengan masalah pengampunan
·  Mengiringinya dengan amal shaleh, yakni memperbanyak amal shaleh (berbuat baik) setelah bertaubat.

Rahmat dan ampunan Allah terhadap pelaku dosa tidak hanya terbatas pada pelaku dosa kecil saja, namun termasuk dosa besar, asalkan ia mau bertaubat.

Oleh karena itu, setelah Allah melarang umat-Nya berputus asa dari rahmat-Nya, lalu memberitahukan kepada mereka  sesuatu yang dapat menentramkan hatinya, yang mencegah dan menghilangkan rasa putus asa, sehingga keputusan itu dapat diganti dengan harapan, dengan sesuatu yang dapat menghilangkan keraguan apakah taubatnya itu diterima atau tidak. Sesuatu yang dapat menentramkan jiwa mereka adalah kelanjutan firman Allah di atas:

اِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا

Artinya: “Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya ….”

Dengan janji Allah seperti itu, mereka memiliki rasa optimis dan merasa kehidupannya masih mempunyai arti. Semangatnya bangkit kembali karena hatinya merasa tentram. Maha Besar Allah yang tidak menganggap besar suatu dosa dan tidak kikir dengan ampunan dan rahmatNya asalkan mereka menghadapkan jiwa kepada Allah dan memohon ampunan-Nya dan kembali kepada-Nya. Ayat di atas ditutup dengan penegasan-Nya:

اِنَّهُ هُوَ اْلغَفُوْرُ الَّرَحِيْمُ

Artinya: “Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Penegasan ini semakin member keyakinan bahwa apa yang telah mereka lakukan, pasti akan mendapat ampunan dari-Nya karena Dialah yang dapat mengampuni segala dosa dan Dialah  yang Maha Penyayang.

Oleh karena itu, hendaknya ayat ini dijadikan rujukan oleh orang yang ingin kembali ke jalan yang lurus, jalan yang diridhai Tuhan. Taubat adalah perbuatan yang sangat terpuji. Tidak ada kata “terlanjur” bagi orang yang telah berbuat dosa pintu taubat selalu terbuka. Terhadap dosa syirik, Allah mengingatkannya dengan keras, seperti dinyatakan dalam surat An Nisa’ ayat 48:

اِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَّشآءُ (النساء:48)

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya ….”(Q.S An Nisa’:48).

Karena itu, JAUHILAH perbuatan SYIRIK!.
Setelah menguraikan 5 (lima) cobaan yang akan diberikan Allah kepada hambanya, pada posting sebelumnya (TABAH SERTA SABAR DALAM COBAAN Part I), dijelaskan diakhir bahwasannya sabar adalah kuncinya, ditegaskan pada ayat "Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar". Kemudian dilanjutkan dengan bahwa orang yang sabar adalah mereka yang apabila ditimpa musibah lalu mengucapkan:

اِنَّا لِلهِ وَاِنَّا اِلَيْهِ رَجِعُوْنَ

“sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepadaNya kami kembali”

Kalimat di atas disebut kalimat “Istirjaa” (pernyataan kembali kepada Allah)
Di dalam firman Allah yang berbunyi:  اِنَّا لِلهِ
menunjukkan pengakuan hamba terhadap Allah sebagai Tuhan yang disembah dan diagungkan. Sedangkan di dalam firman Allah yang berbunyi:  وَاِنَّا اِلَيْهِ
merupakan pengakuan hamba terhadap Allah bahwa ia akan mati dan dibangkitkan kembali dari kubur. Juga merupakan ungkapan keyakinan bahwa perkara itu kembalinya kepada Allah SWT.

Disamping itu pengertian sabar juga ialah “terus berusaha sampai berhasilnya cita-cita dengan ketetapan hati yang teguh tidak menghiraukan pekerjaan itu berat atau ringan”. Sebagai contoh bila si A terkena penyakit maka ia tidak membiarkan begitu saja penyakitnya tapi berusaha mencari obat atau berobat sehingga hilang rasa sakitnya. Artinya si A tidak menyerah begitu saja tidakhanya menerima saja tanpa ikhtiar (usaha).

Kelima macam cobaan tersebut di atas tidak bisa dihindari datang silih berganti datang tanpa melihat kedudukan manusia. Oleh karena itu “sabar” adalah sikap paling ampuh untuk menghilangkan rasa putus asa.

Dengan cobaan ini kaum muslimin menjadi umat yang kuat mentalnya umat yang mempunyai keyakinan yang kokoh, jiwa yang tabah, dan tahan uji. Seyogyanya umat Islam mengambil suri tauladan dari umat terdahulu umat yang ditunjukkan ke jalan yang lurus. Mereka menghiasi dirinya dengan sifat sabar. Sifat yang tak pernah berkeluh kesah ataupun putus asa. Mereka yakin dengan kesabaran itu segala kesulitan akan terpecahkan dan akan didapati jalan keluarnya.

Dalam sejarah kita jumpai bagaimana cobaan yang diberikan kepada Nabi Nuh Ibrahim Musa Ayub Zakaria Ismail Isa serta Nabi Muhamad SAW. Bahkan ada yang dijuluki Ulul Azmi artinya para Nabi yang penuh kesabaran. Nabi Muhamad mendapat cobaan yang bertubi-tubi dihina dicaci maki dikucilkan disakiti diteror dan sebagainya. Semuanya itu adalah rangkaian kejadian yang datang dari Tuhan untuk mempertebal keyakinannya kepada Allah dan mengangkat harkat derjatnya.

Memang sabar adalah sifat keutamaan yang harus dimiliki oleh setiap orang Islam dalam menghadapi urusan agama dan dunianya karena jika seseorang tidak mempunyai kesabaran tidaklah akan tercipta di atas bumi ini karya-karya besar dan orang-orang besar (terkemuka). Kesabaran erat kaitannya dengan sikap mental dan iman manusia. Semakin tebal iman seseorang semakin banyak cobaan yang dihadapinya. Dunia ini merupakan rangkaian percobaan hidup dan setiap manusia dalam hidupnya tidak lepas dari cobaan dan ujian. Bila tidak ingin mendapat cobaan bukan di dunia ini tempatnya melainkan nanti di akhirat tempat semua orang menerima balasan dari semua amal perbuatan yang telah dilakukannya semasa hidup di dunia.

Segala bentuk cobaan berupa rasa takut, rasa lapar, kekurangan harta, jiwa dan kekurangan buah atau bahan makanan harus diyakini bahwa semua itu dari Allah. Semua itu berjalan sesuai dengan ketentuan yang disebut sunnatullah atau hokum alam yang berlaku bagi makhlukNya. Oleh karena itulah Allah mengajarkan agar semua cobaan dikembalikan kepadaNya.

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang diterima dari Ummu Salamah yang mengatakan; Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ اِنَّا لِلهِ وَاِنَّا اِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ اَللَّهُمَّ اَجِرْنِى فِيْ مُصِيْبَتِى وَخْلُفْ لِيْ خَيْرًا مِنْهَا اِلاَّ اَجَرَهُ اللهُ فِيْ مُصِيْبَتِهِ وَاَخْلَفَ لَهَ خَيْرًا مِنْهَا

Artinya: “Seseorang yang ditimpa musibah, lalu ia berkata; “Sesungguhnya kami ini kepunyaan Allah dan kami hanya kembali kepada-Nya. Ya Allah, berilah hamba pahala atas musibah ini, dan gantilah dengan yang lebih baik”, maka Allah akan member pahala atas musibah tersebut, dan Allah akan menggantinya yang lebih baik”.

Kemudian Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah hadits Nabi dari Abdullah ibnu Abbas dari Nabi SAW, Beliau bersabda:

مَنِ اسْتَرْجَعَ عِنْدَ اْلمُصِيْبَةِ جَبَّرَ اللهُ مُصِيْبَتَهُ وَاَحْسَنَ عَاقِبَتَهُ وَجَعَلَ لَهُ خَلَفًا صَالِحًا يَرْضَاهُ

Artinya: “Barangsiapa yang mengucapkan “istirjaa” (innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun) ketika tertimpa musibah, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik, dan Allah akan membalasnya dengan kebaikan, serta akan dianugerahi penerusnya (anak) yang shaleh yang disenanginya”.

Kemudian dilanjutkan pada ayat berikutnya (ayat 157) yang memberikan kabar gembira yang akan diperoleh orang-orang yang beriman dan yang sabar dalam menghadapi cobaan dan musibah dari Allah, yaitu berupa pemberian berkah, ampunan, rahmat dan pujian dari Allah SWT, dan mereka akan mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus dan benar.

Berkah dan atau karunia atau anugerah adalah makna dari kata “shalawat”, berasal dari kata “shalat”. Kata “shalat” mempunyai banyak arti, yaitu sebagai berikut:
•    Shalat dalam arti melaksanakan shalat wajib (shalat lima waktu) dan shalat-shalat sunat. Kata “shalat” di sini, mengandung arti berdo’a dan melakukan perbuatan yang dimulai dari takbiratul ihram hingga salam
•    Shalawat untuk Rasul berarti do’a atau mohon agar beliau diberi Allah SWT karunia dan kemulian
•    Shalawat untuk hamba Allah, berarti anugerah dan perlindungan dari Allah untuk hamba-Nya.

Jadi surat Al Baqarah ayat 155-157 adalah sebagai peringatan awal bagi orang yang beriman, bahwa pada suatu saat mereka akan mendapat cobaan dari Allah SWT, berupa lima macam cobaan atau salah satunya. Sabar adalah sifat paling baik untuk menghadapi cobaan itu. Sabar tidak berarti menerima cobaan itu dengan berdiam diri, tapi harus diiringi dengan ikhtiar atau usaha. Kemudian tidak lupa apabila cobaan itu datang hendaknya dikembalikan kepada Allah seraya mengucapkan; “innaa lillahi wa innaa ilaihi rajiuun”. Kalau demikian insya Allah mereka akan mendapat anugerah kemuliaan dari Allah dan akan mendapat rahmat dan petunjuk-Nya. Itululah jalan yang lurus. Amin.
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْئٍ مِّنَ اْلخَوْفِ وَاْلجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ اْلاَمْوَالِ وَاْلاَنْفُسِ وَالثَّمَرَتِ, وَبَشِّرِ الصَّبِرِيْنَ. الَّذِيْنَ اِذَآاَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ, قَالُوْآ اِنَّا لِلهِ وَاِنَّا اِلَيْهِ رَجِعُوْنَ. اُوْلَئكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرَحَمَةٌ, وَاُوْلَئكَ هُمُ اْلمُهْتَدُوْنَ.

 Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Q.S. Al Baqarah, 155-157)

Secara umum ayat ini mengemukakan adanya cobaan yang akan menimpa diri manusia, terutama orang yang beriman. Setelah itu Allah memberikan jalan keluarnya kepada orang yang ingin mendapat petunjukNya, berupa keberkahan yang sempurna dan rahmatNya.

Secara khusus ayat tersebut berkaitan dengan para sahabat Nabi. Mereka dalam mengamalkan dan menyiarkan Islam banyak mendapat tekanan dan rintangan, baik yang bersifat fisik maupun mental. Cobaan dan rintangan datang silih berganti dalam berbagai keadaan. Orang-orang kafir quraisy mengancam Nabi dan para sahabat terus menerus, begitu juga Yahudi dan orang-orang munafik yang menggerogoti dari dalam. Semua itu adalah cobaan dari Allah semata.

Namun demikian, ayat ini juga berlaku untuk semua manusia dari segala zaman. Dalam menghidupi hidup ini segala macam cobaan akan datang silih berganti, lebih-lebih bagi para penegak kebenaran. Tapi yakinilah bahwa semuanya itu aan dapat diatasi dengan baik bila dijalani sesuai dengan petunjuk Allah.

Cobaan-cobaan yang akan datang kepada manusia berdasarkan surat Al Baqarah ayat 155 ialah rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan atau makanan.

  • Rasa Takut  (الخوف) 
Rasa takut ini menghantui sebagian para sahabat Nabi, karena ancaman orang musyrik (kaum quraisy) dari Makkah dan ancaman kabilah-kabilah dari luar kota Madinah yang bermaksud hendak menyerang Madinah, fitnah orang Yahudi selalu mengintai kesempatan dan ancaman orang munafik yang selalu merongrong dari dalam. 
Dalam keadaan senang atau susah, rasa takut atau khawatir seringkali dialami dalam kehidupan manusia, misalnya takut kehilangan orang yang paling dicintai, takut kehilangan harta, kehilangan kasih saying, kehilangan kesehatan, kehilangan ketampanan, kecantikan, takut kehilangan pekerjaan dan yang paling ditakuti lagi adalah kematian.
  • Kelaparan  (الجوع)
Cobaan yang kedua yang dirasakan manusia adalah rasa lapar atau kelaparan. Lapar bisa terjadi karena tidak mempunyai sesuatu untu dimakan atau kehabisan bekal pada saat bepergian atau lapar pada saat melaksanakan kewajiban puasa. Untuk orang yang tidak kuat imannya, rasa lapar dapat membuat diri lupa akan hak-hak dan kewajiban. Lupa kepada Tuhan, lupa apakah yang dimakan itu haknya atau bukan, apakah itu halal atau haram dan sebagainya. Rasa lapar yang berkepanjangan terkadang membuat orang rela menukar aqidahnya. Untuk itu Rasulullah SAW mengingatkan: 
كَادَ اْلفُقْرَ اَنْ يَّكُوْنَ كُفْرًا

Artinya: “Nyaris kefakiran menjadikan seseorang kufur”
  • Kekurangan Harta   ( نقص من الاموال)
 Para sahabat Nabi yang berhijrah ke Madinah, umumnya meninggalkan harta bendanya di Makah. Mereka hidup dalam kesederhanaan bahkan serba kekurangan, walaupun untuk beberapa lama mereka dijamin dan dibantu oleh orang-orang Anshar. Allah melimpahkan rizki kepada hambaNya tidak sama, ada yang dilebihkan sementara yang lainnya kurang dan sedikit. Allah  lah yang mengetahui rahasia ini semua. Perjalanan hidup manusia tidak ubahnya seperti lautan, ada pasang dan surut, pada saat ia berada di atas, pada saat yang lain berada di bawah. Itulah kehidupan dunia.
  • Jiwa  (الانفس)
Orang Islam yang hijrah ke Madinah tanpa membawa bekal dan jauh dari sanak keluarga, tentu sedikit banyak mempengaruhi jiwanya. Pada saat itu jiwa mereka sedang dicoba Tuhan. Mereka tidak tahu apakah dapat kembali ke kampong halamannya berkumpul bersama keluarganya atau tidak. Bukan hal yang mudah untuk mengatasi itu semua.
kita maklum, ketenangan dan eresahan jiwa seseorang erat kaitannya dengan keadaan kehidupan yang dialaminya. Banyak sebab yang menjadikan jiwa tidak tenang dan resah, misalnya karena kematian orang yang dicintai, apaah itu istri atau anak, atau karena cita-citanya yang tidak tercapai, memuncaknya tekanan ekonomi keluarga dan sebagainya.
  • Buah-buahan ( الثمرت)
Cobaan yang terakir yang diberikan Allah kepada manusia berdasarkan ayat di atas tadi adalah kekurangan buah-buahan atau bahan makanan. Hasil bumi seperti buah-buahan atau bahan makanan di setiap negeri tidak sama. Apa yang ada di tanah Arab tidak sama dengan apa yang ada di Indonesia begitu juga di Negara lainnya. Tapi Allah telah mengatur sesuai dengan kondisi di negeri masing-masing.
Pada suatu saat buah-buahan melimpah, tapi dilain waktu bisa mengurang bahkan sangat kekurangan. Kekurangan buah-buahan atau bahan makanan bukan semata-mata hasil panen yang kurang baik, tapi bisa terjadi karena adanya permainan yang sengaja oleh pihak tertentu yang ingin menyengsarakan orang lain.

Pada masa Rasulullah SAW kekurangan buah-buahan suka terjadi, akibatnya banyak umat Islam termasuk Nabi kadang-kadang hanya makan dua buah kurma dalam sehari. Ingat kejadian yang menimpa umat Islam ketika diboikot oleh kaum kafir quraisy di Makkah.

Beberapa puluh tahun yang lalu di Indonesia pernah terjadi kelaparan yang sangat berat, kelaparan terjadi di mana-mana secara merata. Banyak orang yang memakan sesuatu yang tidak pantas untuk dimakan.

Demikianlah lima macam cobaan yang menimpa manusia berdasarkan surat Al Baqarah ayat 155-157. Bagi orang yang beriman tidak ada jalan lain kecuali menerimanya dengan lapang dada dan diyakininya bahwa itu semata-mata cobaan dari Allah SWT kemudian berusaha sekuat tenaga untuk mengatasinya. Untuk itulah ayat ini dilanjutkan dengan, “Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar”. to be continue....
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ ص م : قَا لَ عَلَى اْلمَرْءِ اْلمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا اَحَبَّ وَكَرِهَ اِلاَّ اَنْ يُؤْمَرُ بِمَعْصِيَةٍ. فَاِنْ اُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَطَاعَةَ (متفق عليه

Artinya; “Darri Abu Umar ra, dari Nabi SAW, bersabda : Menjadi kewajiban orang muslim untuk selalu mendengar dan patuh (kepada pemimpin) baik dalam hal yang ia senangi atau ia benci, kecuali ia disuruh melakukan maksiat, maka tidak ada keharusan mendengar dan mematuhi”. (H.R. Bukhari-Muslim)

Yang dimaksud ulil amri (pemimpin) di sini adalah pemimpin masyarakat di dalam berbagai segi kehidupan. Baik itu pemimpin keagamaan, masyarakat, organisasi atau pemimpin Negara. Setiap pemimpin mempunyai kebijaksanaan dan peraturan tersendiri, lebih-lebih pemimpin dalam suatu Negara, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Dalam rangka menciptakan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera, tentunya harus ada aturan yang harus diikuti dan dipatuhi oleh setiap rakyatnya.

Pada hadits di atas Nabi Muhamad SAW berpesan kepada setiap muslim hendaknya mendengar dan mematuhi apa-apa yang menjadi keputusan, kebijaksanaan dan perundang-undangan yang telah dibuat oleh para pemimpinnya atau pemerintahnya. Baik keputusan atau perundang-undangan itu ia senangi atau tidak. Peraturan atau perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemimpin bisa jadi disenangi, karena memberi manfaat dan keuntungan pada dirinya. Dan bisa jadi peraturan atau perundang-undangan itu tidak disenanginya, karena dapat merugikan dirinya atau tidak dapat memberikan manfaat baginya, walaupun mungkin akan memberikan manfaat pada orang lain.

Selama peraturan atau perundang-undangan itu tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka sebagai muslim yang baik harus mematuhinya. Seorang muslim harus berpandangan luas, tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Sebab pemimpin tidak hanya memikirkan kepentingan orang pribadi, tapi untuk kepentingan dan kemaslahatan umum.

Oleh karena itu, bila pemimpin memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan kepentingan kaum muslimin, maka Rasulullah mewajibkan umatnya untuk mentaatinya, baik perintah itu ia senangi atau tidak. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 216 ;
وَعَسَى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـأً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ (الْبقرة : 216)
Artinya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik  bagimu”. (Q.S Al Baqarah:216)

Kemudian suatu urusan apabila oleh kaum muslimin dianggap baik, maka di sisi Allah juga baik, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:

عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. مَا رَآهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ (رواه احمد)
Artinya: “Dari Anas ra, berkata: Rasulullah SAW bersabda: Apa yang dianggap oleh kaum muslimin sesuatu itu baik, maka di sisi Allah juga baik”. (HR. Ahmad)

Apabila Negara dalam keadaan genting, agama terancam dan pemimpin mengajak kaum muslimin untuk mempertahankannya, maka wajib dituruti. Begitu juga bila diminta berkorban harta benda, untuk membiayai Negara demi kemajuan bangsa, maka harus ditaati. Bila diminta untuk menjaga keamanan lingungan, dihimbau untuk memperhatikan masalah sosial, sudah sewajarnyalah dipatuhi. Segala perintah mereka wajib didengar dan ditaati, serta dilaksanakan, selama perintah itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Kunci keberhasilan suatu Negara diantaranya terletak pada ketaatan, kesetiaan dan tanggung jawab warganya. Ketaatan kepada pemimpin berarti ketaatan kepada Rasul dan ketaatan kepada Rasul berarti ketaatan kepada Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW:

مَنْ اَطَاعَنِى فَقَدْ اَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِى فَقَدْ  عَصَى اللهَ وَمَنْ يُطِعِ اْلاَمِيْرِ فَقَدْ اَطَاعَنِى وَمَنْ يَعْصِ اْلاَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِى. (متفق عليه)
Artinya: “ Siapa yang taat kepadaku, berarti ia taat kepada Allah, dan siapa yang durhaka kepadaku, maka berarti ia durhaka kepada Allah. Dan siapa yang taat kepada Amir (pemegang pemerintahan), berarti ia taat kepadaku, dan siapa yang durhaka kepada Amir, berarti ia durhaka kepadaku”. (Muttafaq Alaih)

Apabila kaum muslimin tidak mau mendengar dan tidak mematuhi dan tidak ada rasa tanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi di Negara tempat ia tinggal, maka kehancuranlah yang akan terjadi dan sekaligus menjadi bencana bagi umat Islam. Sebaliknya apabila Ulil Amri memerintahkan kea rah dilarang dan dimurkai Allah dan RasulNya, maka tidak boleg dituruti lagi perintahnya. Jadi, kepatuhan terhadap mereka mempunyai batasan tertentu, yakni selama mereka memimpin dan mengarahkan kepada hal-hal yang tidak termasuk maksiat. Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:

لَاطَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ اْلخَالِقِ.
Artinya: “ Tidak boleh patuh kepada makhluk dalam hal maksiat kepda halik (Allah)”.

Contoh: Apabila ada pemimpin yang memerintahkan agar menghalangi orang yang hendak ibadah, merampas harta orang, memberikan kesaksian palsu dan minta bantuan untuk hal-hal yang tidak diridhai Tuhan, maka tidak perlu dipatuhi. Yang wajib dipatuhi adalah ketentuan Allah. Tetapi penolakan perlu dilakukan dengan arif dan bijaksana, untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Bahkan jangan segan-segan untuk meberikan masukan yang baik kepada pemerintah.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa perintah ulil amri itu wajib dipatuhi selama bersesuaian dengan perintah Allah dan RasulNya. Tapi kalau ulil amri memerintahkan hal yang bertentangan dengan perintah dan larangan Allah dan RasulNya, dikala itu perintah mereka tidak wajib dipatuhi, bahkan harus dijauhi secara bijaksana.